Kanker serviks merupakan kanker yang terbanyak diderita wanita-wanita di negara yang sedang berkembang termasuk di Indonesia. Sebagaimana kanker pada umumnya maka kanker serviks menimbulkan masalah-masalah berupa kesakitan (morbiditas), penderitaan, kematian, finansial/ekonomi maupun lingkungan bahkan pemerintah. Berdasarkan data dari Instalasi Patologi Anatomi FK UNSRI/ RSUP Dr. M. Hoesin maka urutan kanker terbanyak pada wanita seperti pada tabel dibawah ini. Kanker serviks sampai saat ini masih menduduki peringkat pertama kanker pada wanita yaitu sebanyak 285 kasus (23,85 %) dan berikutnya adalah kanker payudara yaitu 23,1 %.
Dalam hal pengobatan/penanggulanagan kanker serviks umumnya dilakukan sebagian besar dengan radiasi atau kombinasi modalitas radiasi , operasi dan kemoterapi. Dalam menegakkan diagnosis dan pemeriksaan yang dilakukan pada kanker serviks cukup mahal. Pada seoarang penderita kanker leher rahin untuk menegakkan diagnosis sampai menentukan stadium dan pengobatan dengan radiasi membutuhkan biaya kurang lebih 2 sampai 3 juta rupiah. Bahkan saat ini untuk biaya pengobatan radiasi di RS Cipto Mangunkusumo berkisar 6 – 8 juta rupiah Bila kita melakukan penapisan kanker serviks atau tindakan operasi pada stadium awal maka biaya yang dikeluarkan tidak semahal bila telah menjadi stadium lanjut. Biaya yang dibutuhkan bila ditemukan pada fase prakanker dan diobati hanya empat ratus ribu rupiah.
Pencegahan dan pengobatan prakanker serviks masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di antara perempuan dewasa di Indonesia. Kanker serviks merupakan kanker nomor dua tersering diderita oleh perempuan dan penyebab kematian akibat kanker yang paling utama.
Beberapa usaha sudah pernah dilakukan oleh dinas kesehatan maupun beberapa organisasi masyarakat jugafakultas kedokteran pada beberapa perguruan tinggi terkenal di dalam negeri. Secara mandiri maupun bekerjasama dengan WHO dan organisasi yang pedulikesehatan masyarakat di luar negeri.Namun menurut laporan pada akhir program biasanya terkendalpada dana,saat danada, program bisa berjalan dengan baik, tetapi saat dana habis,program juga tersendat.
Di negaranegara maju deteksi dini kanker serviks dengan tes Pap sudah terorganisasi dengan baik dan setiap perempuan diperiksa secara teratur, insiden kanker serviks dapat diturunkan secara dramatis. Namun dalam perkembangannya menerapkan metode tes Pap ini di Indonesia ternyata sulit dilakukan di sebabkan berbagai kendala antara lain luasnya wilayah nusantara, kurang tersedianyalaboratorium sitologi dan sumber daya spesialis patologi anatomik dan skriner sitologi sebagai pemeriksa sitologidi daerahdaerah terpencil. Pusatpusat yang mampu melakukan pemeriksaan tes Pap masih terbatas,bahkan belum semua ibu kota provinsi mampu melakukannya.Saat ini hanya tersedia dokter spesialis patologi anatomik sebanyak 277 orang ( data tahun 2005),skriner sitologi yang belum mancapai 100morang (data tahun 2000 ), untuk melayani 212 juta populasi Indonesia pada tahun 2002.Sebagai perbandingan di Amerika Serikat untuk melayani 288 juta penduduk didukung oleh 15.000
Wright, Jr , TC dkk menjelaskan secara rinci bahwa program pencegahan kanker serviks di daerah yang masih kekurangan laboratorium sitologi dan sumber daya patologi, anatomic dan skriner sitologi lebih tepat jika menggunakan metode Inspeksi Visual Asam asetat(IVA).
Pemeriksaan IVA pertamakali diperkenalkan oleh Hinselman ( 1925 ) dengan cara mengusap serviks dengan kapas yang telah dicelupkan ke dalam asam asetat 3%.Adanya tampiln ” bercak putih ” setelah pulasan asam asetat kemungkinan diakibatkan lesi prakanker serviks.Cara inikemudian dikembangkan oleh WHO sejak tahun 1990 di India,Thailanddan Zimbabwe.Metode skrining dengan teknik IVA relatif mudah dan dapat dilakukan oleh bidan yang telah dilatih.Hal ini juga untuk memudahkan pendekatan pada kelompok perempuan yang diperiksa..
IVA juga diperkenalkan oleh Female Cancer Program ( FCP) yang merupakan kerja sama sejumlah fakultas kedokteran di Indonesia, persatuan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI)dengan universitas Leiden Belanda,FCP sudah berjalan sejak 2003.Kalau dulu yang terlibat FCP adalah YKI DKI dan Bali, sekarang sudah secara nasional. Pemeriksaan papsmear memang lebih teliti untuk melihat kelainan jaringan, tetapi memerlukan peralatan khusus dan ahli patologi anatomi.Biaya pemeriksaan termurah 35 – 40 ribu rupiah. sering tidak terjangkau masyarakat sehingga baru sebagian kecil perempuan melakukan pemeriksaan dini. Sebaliknya IVA hanya memerlukan olesan asam cuka. Keuntungan skrining IVA dibandingkan tes Pap adalah tidak memerlukan dukungan laboratorium beserta SDMnya, hasilnya dapat segera disampaikan setelah diperiksa, biaya sangat ringan.
Setelah ada hasil dari pemeriksaan penapisan berupa displasia, maka harus dilanjutkan dengan pemeriksaan kolposkopi dilanjutkan biopsi terarah atau pemeriksaan DNA virus HPV. Pengobatan displasia dilakukan setelah ada pemeriksaan hasil biopsi atau pemeriksaan DNA virus. Pengobatan displasia merupakan terapi pencegahan terjadinya kanker leher rahim. Prinsif pengobatan adalah destruksi lokal dengan pembekuan atau pembakaran. Terapi diet dan nutrisi digunakan untuk menjaga keseimbangan sistem hormon dan mendukung sistem imun. Diet untuk displasia serviks haruslah terutama vegetarian dan rendah lemak. Pada kasus displasi ringan yang memilih untuk tidak diobati, apusan papas setiap 3 bulan harus dilakukan untuk memantau kondisinya perbaikan sendiri atau progresif. Pada kasus sedang / berat dilakukan pengangkatan atau pengrusakan sel-sel abnormal serviks. Pengrusakan dilakukan dengan cryosurgery yaitu pembekuan, pembakaran dengan larutan trikhloroasetik. Pembedahan dengan laser juga dapat dilakukan seperti LOOP. Pembedahan konvensional pada kasus berat dapat dilakukan.
HPV biasa disebut wart virus (virus kutil). Terdapat lebih dari 100 tife HPV yang telah diidentifikasi. Tife 16,18,31,33 dan 35 menyebabkan perubahan sel-sel pada vagina atau serviks yang pada mulanya menjadi displasia dan selanjutnya berkembang menjadi kanker leher rahim. Bahkan seandainya HVP tidak terdeteksi dengan apusan paps, 80-90 % tentu saja akan terdapat HPV jika anda terdiagnosis berbagai tife displasia. Umumnya virus HVP tertular melalui kontak seksual. Kondom dapat mencegah penyebaran berbagai penyakit, tetapi tidak HPV. HPV ditemukan pada semual jaringan genitalia dan kondom pada penis tidak dapat mencegah transmisi HPV. Virus dapat tinggal dorman pada serviks selama 20 tahunan sebelum ia menyebabkan wart atau perubahan pada sel. Jika dokter telah menemukan suatu abnormal apusan paps, anda mungkin bukanlah baru mendapatkan HVP.
Selain itu, untuk pencegahan dan penanggulangan penyakit kanker serviks, perlu diterapkan system terbuka. Yaitu system yang berasal dari masyarakat dan diperuntukan untuk asyarakat itu sendiri. Tentunya peran tenaga medis dan kesehatan sangat diperlukan dalam system ini. PMI, dinas kesehatan, pemerintah daerah, media massa, LSM, PKK, masyarakat serta bidan dan dokter sangat diperlukan dalam pencegahan kanker serviks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar